BANDARLAMPUNG – Ironi birokrasi kembali menyeruak di Lampung. Atas nama efisiensi anggaran, Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik (Diskominfotik) Provinsi Lampung menunda proses rekrutmen Komisi Informasi (KI) dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID).
Namun di balik penundaan itu, tersisa satu pertanyaan tajam: jika alasan efisiensi dipakai untuk menunda seleksi, mengapa anggaran untuk menggaji para komisioner yang masa jabatannya sudah habis tetap mengalir?
Padahal, publik tahu betul peran KI dan KPID bukan sekadar formalitas. Dua lembaga ini menjadi garda terdepan dalam memastikan hak masyarakat atas informasi dan penyiaran yang sehat. Sayangnya, masa jabatan KPID Lampung telah berakhir sejak 2023 dan KI Lampung sejak Februari 2024. Seharusnya, sejak saat itu sudah ada tim seleksi yang bekerja. Faktanya? Semua dibiarkan kosong—kecuali kursi yang masih diduduki para komisioner lama.
Kepala Diskominfotik Lampung, Ganjar Jationo, mengakui rekrutmen baru belum jalan. Ia menyebut, efisiensi anggaran diberlakukan sejak sebelum dirinya kembali menjabat sebagai Kepala Dinas.
“Pelaksanaan rekrutmen KI dan KPID itu memang terkena efisiensi sebelum saya duduk kembali di Diskominfo. Jadi sampai sekarang belum dilakukan rekrutmen baru,” kata Ganjar, dikutip dari Hariankandidat, Senin (25/8/2025).
Jawaban itu dianggap tak masuk akal oleh banyak pihak. Anggota DPRD Lampung, Miswan Rody, misalnya, menegaskan keterbatasan anggaran bukan alasan.
“KI dan KPID Lampung ini sudah menjadi desakan publik. Jangan sampai alasan klasik seperti tidak ada anggaran dipakai terus. Kalau regulasi bilang sudah waktunya rekrutmen, ya harus dilaksanakan,” tegas politisi NasDem itu.
Miswan bahkan menuding Pemprov abai karena membiarkan komisioner lama tetap bekerja meski SK mereka sudah kadaluarsa. “Ini yang harus diluruskan, jangan sampai negara keluar anggaran untuk menggaji pejabat yang masa baktinya sudah habis,” katanya. DPRD pun berencana memanggil Diskominfotik untuk meminta klarifikasi resmi.
Nada serupa datang dari kalangan akademisi. Dekan Fakultas Hukum Universitas Tulang Bawang (UTB) Lampung, Ahadi Fajrin Prasetya, menyebut situasi ini berbahaya dari sisi hukum maupun etika.
“Jika SK Gubernur 2020 sudah berakhir, seharusnya segera dilakukan seleksi baru untuk periode 2024–2028. Kalau tetap membiarkan yang lama menjabat, apalagi masih menerima hak keuangan, itu persoalan serius,” tegasnya.
Ahadi bahkan mengingatkan, jika para komisioner memiliki kesadaran hukum, mereka mestinya mengembalikan hak keuangan yang tidak lagi sah. “Kalau mereka sadar itu bukan haknya, maka sebagai warga negara yang baik harusnya dikembalikan,” ucapnya.
Sayangnya, ketika awak media mencoba meminta tanggapan dari para komisioner KI Lampung lama—Erizal, Syamsurrizal, Dery Hendryan, dan Ahmad Alwi Siregar—jawaban tak kunjung datang. Prosedur birokratis jadi tameng, staf meminta wawancara diajukan secara resmi lewat surat.
Publik pun makin gusar. Pemerintah berdalih efisiensi untuk menunda rekrutmen, tapi di saat bersamaan uang negara tetap mengalir ke kantong mereka yang masa baktinya sudah usai. Sebuah ironi yang menohok, sekaligus menampar logika keadilan dan transparansi yang selama ini justru dijaga oleh lembaga bernama Komisi Informasi. (*)