Oleh: Deni Kurniawan
Keterbukaan di era digital informasi saat ini merupakan sebuah tuntutan mutlak yang harus dikedepankan oleh lembaga pemerintah maupun pejabat publik disemua level pemerintahan, baik dipusat maupun didaerah.
Begitu juga dengan transparansi keuangan pada Dinas Komunikasi Informasi dan Telematika (Diskominfotik) Pemerintah Provinsi Lampung yang belakangan ini cenderung tertutup, atau lebih tepatnya ada yang ditutup ada yang dibuka.
Hal itu bisa terlihat dari fakta fakta di lapangan, dimana ada beberapa pemilik media yang mengakui terbangun kerjasama kontrak dengan membuat Memorandum of Understanding (MoU) untuk mendapatkan kerjasama Advertorial (ADV).
Disisi lain banyak media yang mengakui mendapatkan Advertorial hanya ketika ada pemesanan. Terkadang 1 bulan sekali, ada yang 2 bulan sekali untuk per Advertorialnya. Hal inilah yang menjadi kecemburuan dari banyak pemilik media. Jika sistem buka tutup atau setengah kopling dimainkan oleh Diskominfotik selaku pengelola jasa publikasi.
Lantas bagaimana sistem pertanggungjawabannya jika ada kerjasama Advertorial atau iklan yang tidak dilandasi dengan sistem MoU? Belum lagi soal nilai kerjasama publikasi untuk pemberitaan secara online. Apa yang menjadi parameter kerjasamanya? Kenapa harus dipukul rata tiap media online hanya mendapatkan Rp 1 juta per media. Jika memang benar per media mendapatkan nilai kerjasama yang besarannya sama.
Ada lagi kerjasama oplah langganan koran yang belakangan ini Diskominfotik Pemprov Lampung melakukan perapihan manajemen. Media media cetak yang terbit berkala sesuai pesanan harus merelakan untuk diberhentikan kerjasamanya, walaupun sejujurnya untuk langganan oplah ini ada “cisback’ dari kuantiti penerbitan.
Hal itu juga berlaku untuk setiap pencairan iklan dan Advertorial. Dengan kode tertentu, ada semacam ‘kewajiban’ dan ‘penandaan’ terhadap media yang memberikan dan tidak memberi ‘cisback’ dari nilai kerjasama iklan dan Advertorial di tubuh Diskominfotik.