Oleh: Kurniadi, Pegiat Media Sosial
Kata qurban pada saat kita merayakan Idul Adha sudah tidak asing lagi. Mulai mereka yang mengatakan saatnya kita berkurban, sampai pada istilah guyonan, “ kita sementara hanya bisa berkorban perasaan.” untuk istilah bagi orang-orang yang belum bisa ber-qurban atau yang tidak kebagian kupon qurban
Kata kurban dan korban sebenarnya berasal dari kata yang sama dari bahasa Arab, yaitu qoroba, yaqrobu, qurban, qurbanan, dan qirbanan yang berarti “dekat”.
Secara terminologi kurban berarti berjuang secara benar atas dasar takwa dan sabar, baik dengan harta, tenaga, maupun jiwa dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah serta memperoleh keridhaan-Nya. Sering kali harta, tenaga, dan jiwa menjadi ‘korban’, belum menjadi ‘kurban.’ Hal ini lantaran dikeluarkannya bukan atas dasar takwa, sabar, dan ikhlas karena Allah.
Sebagaimana ada peristiwa pada suatu Hari Raya Adha salah seorang bapak-bapak miskin yang memiliki tiga orang anak namun harus bersusah payah agar mendapatkan satu buah kupon di daerahnya, padahal Hewan kurban di daerahnya itu sangat melimpah
Jadi pertanyaan besar dari dalam dirinya, kenapa? Kok dari semua Masyarakat yang ada disana hanya dia yang tidak kebagian Kupon, apakah ada dasar ketidak senangan panitia lantaran seorang bapak-bapak itu dianggap berprilaku “agak laen” dikampungnya, meskipun akhirnya dapat kupon juga meskipun harus diperjuangkan terlebih dahulu, tapi ini bukan perkara daging, lebih kepertanyaan kenapa? dari sekian banyak warga hanya dirinya yang terlupakan.
Padahal daging bagi orang miskin seperti dirinya sangat berarti dibandingkan dengan orang-orang kaya dan sejahtera yang mungkin bisa beli daging disaat sedang ingin makan daging
Lantas, Apakah definisi Qurban atas dasar takwa, sabar, dan ikhlas karena Allah kalau bagi-bagi kupon berdasarkan siapa latar belakangnya, Walaupun dia kaya kalo dikira cocok dihati dapat kupon, eh kalo dia si miskin tapi dinilai orangnya “Agak laen” gak kebagian?
Itulah pentingnya kita memurnikan niat dalam setiap amal merupakan langkah awal dari penyucian jiwa dan persyaratan diterimanya ibadah kurban seseorang. “Daging kurban dan darahnya itu sekali-kali tidak akan pernah sampai kepada Allah tetapi yang sampai kepadanya adalah ketakwaan kamu”(QS. Al-hajj:37).
Bersamaan hari raya Idul Adha, maka berkurban hewan, berkorban perasaan, atau jadi korban dan dikorbankan menjadi fenomena yang perlu kita cermati. Serta kita hindari salah satunya, dengan mengembangkan pemahaman kita tentang berkurban itu sendiri.
Rela berbagi kepada sesama terutama mereka yang membutuhkan. Sedangkan korban perasaan sebenarnya dibutuhkan dalam setiap hal agar kemaslahatan bisa dipelihara dalam kehidupan manusia. Karena setiap orang ingin merasakan kemenangan, kesenangan, kenikmatan, kebahagiaan, kenyamanan, ketenangan dan itulah esensi kebutuhan rohani / psikis setiap makhluk, terutama manusia yang dikatakan punya perasaan.
Dari sini mungkin perlu ada pemahaman, bahwa ketika kita menyembelih hewan ternak sebagai kurban kepada Allah SWT, ternyata perlu disinkronkan dengan keharusan mengorbankan pula perasaan-perasaan superior, super-ego, dan egosentris, yaitu pola pikir yang mengutamakan ego/ambisi/keinginan pribadi, demi kesenangan, kenyamanan, ketenangan, kebahagiaan orang lain. Agar sempurna dan tercapai tujuan dan hakikat berkurban yang bisa mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan. “Tidak akan pernah tercapai olehmu suatu kebaikan sebelum kamu sanggup membelanjakan (menginfakkan) sebagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran ayat 92)
Penulis : Re Doank