LAMPUNG – Proyek pengadaan sistem peringatan dini bencana (Early Warning System/EWS) oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Lampung tahun anggaran 2024 terbukti bermasalah dan berpotensi merugikan keuangan daerah.
Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap, proyek senilai Rp5,82 miliar ini gagal berfungsi dan kuat dugaan hanya formalitas penyelesaian untuk mencairkan anggaran penuh 100 persen.
Proyek pengadaan EWS dilaksanakan oleh PT IVE berdasarkan Surat Perintah Kerja Nomor 08/SPK.EWS/V1.08/2024 tanggal 18 November 2024 dengan masa pelaksanaan 43 hari hingga 31 Desember 2024.
Anehnya, meski pekerjaan belum terbukti berjalan sesuai fungsinya, pembayaran sudah dilakukan 100 persen hingga pemeriksaan terakhir pada 15 Mei 2025.
Fakta di Lapangan: Alat Banyak Offline, Lokasi Tak Sesuai
Berdasarkan Berita Acara Serah Terima (BAST) tertanggal 27 Desember 2024, dinyatakan bahwa 63 unit perangkat EWS telah diserahterimakan. Namun hasil inspeksi BPK menunjukkan, hanya empat dari tujuh perangkat yang benar-benar ada di lokasi Desa Purwodadi, Kecamatan Way Sulan, Kabupaten Lampung Selatan. Selebihnya tidak dapat ditemukan dan tidak jelas keberadaannya.
Lebih parah, dari 62 perangkat yang tercatat dalam sistem pemantauan ews.invix.id, hanya dua unit dalam kondisi online, sementara sisanya tercatat offline. Hal ini mengindikasikan bahwa perangkat yang diadakan tidak pernah benar-benar beroperasi sebagaimana mestinya.
Pengujian pun tidak dilakukan di lapangan melainkan hanya sebatas demo terbatas di kantor penyedia, tanpa memastikan apakah sistem benar-benar dapat mengirimkan data curah hujan dan tinggi muka air ke sirine dan command center. Padahal EWS dirancang sebagai sistem terintegrasi yang menyelamatkan nyawa warga saat terjadi potensi banjir.
Potensi Kerugian dan Denda yang Belum Disetor
Akibat tidak berfungsinya sistem dan keterlambatan pelaksanaan, penyedia semestinya dikenakan denda keterlambatan minimal Rp703 juta, sebagaimana diatur dalam Perpres 16 Tahun 2018 jo. Perpres 12 Tahun 2021. Namun hingga kini, perusahaan baru menyetor Rp35 juta ke Kas Daerah, menyisakan kekurangan Rp668 juta lebih yang belum diproses.
Ironisnya, meskipun penyedia lalai dan proyek gagal secara fungsi, tidak ada langkah tegas dari pejabat terkait, termasuk Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), untuk menagih kekurangan denda tersebut maupun membatalkan kontrak.
BPK Desak Tindak Lanjut, APH dan Kejati Didorong Usut
BPK dalam laporannya telah meminta Kepala BPBD Lampung agar:
• Memerintahkan PPK untuk lebih ketat mengendalikan kontrak dan menagih kekurangan denda;
• Menugaskan Inspektorat Provinsi untuk melakukan uji fungsi ulang terhadap seluruh perangkat EWS agar memastikan sistem benar-benar bekerja.
Sementara itu, terkait terungkapnya boroknya pekerjaan (Early Warning System/EWS) oleh BPBD Provinsi Lampung. Menjadi sorotan pemerhati kebijakan publik Benny N.A Puspanegara.
Ia menilai proyek besar dan hasil yang nihil, publik patut mempertanyakan: apakah ini hanya kelalaian administratif atau sudah masuk ranah dugaan tindak pidana?
“Bila merujuk pada UU Tipikor, perbuatan yang mengakibatkan kerugian negara melalui proyek fiktif, rekayasa laporan progres, atau pengadaan barang yang tak berfungsi, berpotensi menjadi objek penyidikan oleh Aparat Penegak Hukum (APH), termasuk Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung.
Sebab, proyek dengan dana negara yang menyangkut keselamatan publik seperti EWS, bukan hanya soal teknis, tetapi juga menyangkut integritas, akuntabilitas, dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah,” pungkasnya.
Hingga berita ini turun. Pihak BPBD Provinsi Lampung bungkam. Saat dikonfirmasi nomor Kepala Dinas BPBD, Rudy Syawal tiba-tiba tidak aktif. (*)