Masih Adanya Sangkutan Hukum, Integritas Arinal Dipertanyakan

BANDARLAMPUNG,SB – Tidak adanya kepastian hukum dan belum adanya Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) dari Kejaksaan tinggi (Kejati) Lampung mengenai kasus indikasi penyimpangan dan penyalahgunaan APBD 2015 yang diduga melibatkan Gubernur Arinal Djunaidi dinilai kalangan menciderai semangat clean government serta bukti jika mantan Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) sebagai kepala daerah yang tidak mempunyai integritas.

Pengamat kebijakan publik Universitas Lampung (Unila) Dedy Hermawan berpendapat sebagai kepala daerah sejatinya Arinal menjadi orang terdepan dalam melaksanakan pemerintah yang bersih dan bebas dari korupsi. Dengan adanya dugaan tersebut justru menggangu ekpekstasi masyarakat akan adanya pemimpin yang bersih dan berintegritas.

“Tentunya hal itu menggangu secara integratas ,seharusnya Gubernur menjadi orang terdepan untuk menegakkan pemerintahan yg bersih dari kasus korupsi, apalagi masyarakat menginginkan adanya pemerintah yang berintegritas dan bersih,”jelas Akademisi Unila saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Senin (22/7).

Adanya dugaan itu sambungnya, secara otomatis akan menggangu konsentrasi Arinal menjalankan roda pemerintahan, alhasil akan berakibat tidak maksimalnya kinerja selaku kepala daerah.

“Ketika Ada kasus yang masih belum clear tentunya akan menggangu konsentrasi, misalnya harus bolak balik ke Kejati untuk urusan hukum. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap roda pemerintahan yang tidak berjalan secara maksimal dan figur Arinal sebagai kepala daerah terbebani,”tegasnya.

Dikatakannya, penegak hukum harus bekerja cepat karena lambannya proses penyidikan membentuk opini publik jika Kejati cenderung kurang serius menangani kasus dugaan penyimpangan saat Arinal menjabat Sekdaprov.

“Meskipun belum ikrah, namun masyarakat memandang jika kasus itu paling tidak ikut menyeret yang bersangkutan dan bolanya ada di penegak hukum.Ini kan sangat kontradiktif dengan semangat clean government serta menggangu secara opini, bahkan kasus ini sudah menjadi preseden buruk sejak awal pencalonan semestinya dari awal Arinal tidak terbebani dengan label terlapor dugaan korupsi,”tandasnya.

Diberitakan sebelumnya, laporan kasus dugaan penyimpangan dan penyalahgunaan dana APBD tahun anggaran 2015, masih mandek di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung.

Kasus penyimpangan dan penyalahgunaan APBD 2015 ini kuat dugaan ikut menyeret Arinal Djunaidi saat menjabat sebagai Sekertaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung masih terus berjalan. Arinal di laporkan Matala tahun 2016 lalu sampai dengan saat ini belum berlanjut ke proses hukum berikutnya.

Kendati proses hukum cenderung lamban namun Korps Adyaksa memastikan belum menghentikan penyidikan.Bahkan Kajati Lampung, Sartono saat dikonfirmasi awak media, usai upacara Hari Bhakti Adiaksa (HBA), Senin (22/7/2019) mengakui jika kasus itu masih berjalan dan belum menandatangani Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3).

“Kan saya yang tanda tangan, dan sampai dengan saat ini saya belum menandatangani SP3 kasus itu, “singkatnya

Sebelumnya Direktur Eksekutif Matala, Charles Alizie dihubungi melalui ponselnya membenarkan laporan itu. Terdapat dua item penting yang dalam laporannya yang secara gamblang menyebut dugaan korupsi tersebut. Pertama terkait kegiatan belanja tambahan penghasilan beban kerja dengan kode rekening 2.11.02.01 sebesar Rp11.457.000.000, dalam kegiatan tersebut negara dirugikan sebesar Rp1.735.000.000.

“Dasar kerugian, timbul karena Arinal Djunaidi yang pada saat itu menjabat sebagai Sekprov Lampung diduga tidak menggunakan standar besaran honorarium yang harus diterima sesuai dengan besaran yang ada peraturan gubernur,” kata dia.

Pada point kedua, Matala membahas tentang penggunaan anggaran dalam kegiatan di biro hukum pada penetapan besaran honorarium penyusunan perda yang menggunakan pergub yang belum bisa dilaksanakan karena peraturan menteri belum ada yang mengaturnya.

“Sehingga negara dirugikan sebesar Rp2.316.450.000. Ini dikarenakan yang bersangkutan tidak melaksanakan tugasnya dengan baik dan cenderung korup,” tegasnya.

Dalam laporan itu juga, Matala mencontohkan beberapa biro lain yang terkesan menyalahgunakan anggaran dalam beberapa kegiatan, salah satunya adalah biro asset dan perlengkapan. Dalam biro tersebut, Matala menyinggung tentang seluruh kegiatan dalam biro yang dilaksanakan sendiri oleh kepala bagian dengan meminjam perusahaan. Pelaksanaan kegiatan tersebut dikoordinir oleh kepala biro dan diduga sebagian hasilnya diserahkan kepada terlapor. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.