LAMPUNG – Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Tulang Bawang (UTB) Lampung mengadakan seminar bertajuk Kampus Bebas Kekerasan pada Senin (23/12/2024). Acara ini bertujuan untuk mengedukasi mahasiswa tentang pentingnya peran etika dan hukum dalam mencegah kekerasan di lingkungan perguruan tinggi. Kegiatan ini terlaksana atas kerja sama dengan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi (PPKPT) Universitas Tulang Bawang Lampung.
Seminar menghadirkan narasumber kompeten seperti Wakil Kepala Polisi, Brigjen Pol. Dr. Ahmad Ramadhan, S.H., M.H., M.Si., psikolog dari Rumah Sakit Jiwa, Retno Riani, S.Psi., M.Psi., dan dosen Fakultas Hukum UTB, Dr. Topan Indra Karsa.
Dekan Fakultas Hukum UTB Lampung, Ahadi Fajrin Prasetya, dalam sambutannya menekankan pentingnya edukasi berkelanjutan terkait kekerasan di kampus. “Kekerasan di lingkungan universitas harus dicegah melalui edukasi yang terus-menerus. Kampus harus menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi seluruh civitas akademika,” ujarnya.
Senada dengan itu, AKP Didik Kurnia dari Subdit 2 Ditreskrimum Polda Lampung menyampaikan urgensi kampanye Kampus Bebas Kekerasan. “Sosialisasi ini sangat penting untuk mencegah kejadian-kejadian yang pernah terjadi di sejumlah universitas. Kita harus memutus budaya kekerasan, baik dalam bentuk bullying maupun kekerasan fisik dan nonfisik,” tegasnya.
Psikolog Retno Riani, S.Psi., M.Psi., menyoroti fenomena darurat kekerasan di perguruan tinggi. “Kasus kekerasan di kampus sangat memprihatinkan. Jenis kekerasan paling tinggi adalah bullying, diikuti kasus judi online dan pornografi. Peran dosen dan orang tua sangat penting untuk mencegah hal ini. Jangan sampai mahasiswa dipaksa meraih prestasi dengan cara yang salah karena berdampak buruk pada mental mereka,” ungkapnya.
Dr. Topan Indra Karsa menggarisbawahi pentingnya penerapan aturan tegas untuk mengatasi kekerasan di kampus. “Kampus terdiri dari tiga elemen utama: dosen, karyawan, dan mahasiswa. Jika terjadi kekerasan, itu ulah oknum. Negara hadir melalui undang-undang untuk menegakkan prinsip hukum, manfaat, dan keadilan,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa kampus harus menjunjung tinggi budaya akademik dan intelektual. “Kekerasan tidak boleh terjadi di universitas. Kampus harus menjadi ruang intelektual, bukan tempat diskriminasi atau kekerasan. Semua pihak harus saling menghormati untuk menciptakan lingkungan belajar yang sehat,” tambahnya.
Seminar ini diharapkan menjadi langkah awal dalam menciptakan kampus bebas kekerasan. Peserta, mayoritas mahasiswa, tampak antusias mengikuti acara tersebut. Mereka menyadari pentingnya peran mereka dalam mencegah kekerasan dan membangun budaya akademik yang positif.
Kegiatan diakhiri dengan diskusi interaktif antara narasumber dan peserta, membahas isu kekerasan kampus secara mendalam. Harapannya, seminar ini memicu langkah konkret untuk menciptakan lingkungan universitas yang aman, nyaman, dan bebas dari kekerasan. (*)