Analisis Akademis atas Kasus HIPMI Lampung

- Jurnalis

Senin, 8 September 2025 - 13:41 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Prof. Dr Zainab Ompu Jainah SH MH

Kasus dugaan penyalahgunaan narkotika yang melibatkan sejumlah anggota HIPMI Lampung di sebuah hotel berbintang, dengan barang bukti berupa ekstasi, menimbulkan pertanyaan serius mengenai konsistensi penegakan hukum narkotika khusunya di provinsilampung dan umumnya di Indonesia. Fakta yang terungkap di media menyebutkan bahwa barang bukti awal sebanyak 7 butir ekstasi ditemukan, namun informasi lain menyebutkan bahwa pembelian dilakukan dalam dua paket yang berisi 20 butir. Meskipun demikian, proses hukum yang dijalankan berujung pada penetapan rehabilitasi rawat jalan.

Secara normatif, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memang membuka ruang rehabilitasi. Pasal 54 menegaskan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial. Pasal 103 memberikan kewenangan kepada hakim untuk menetapkan rehabilitasi bagi pecandu. Sementara Pasal 127 menyebutkan bahwa penyalahguna narkotika golongan I (termasuk ekstasi) untuk diri sendiri dapat dipidana maksimal 4 tahun penjara, namun dengan peluang ditempatkan dalam rehabilitasi.

Selain itu, SEMA No. 4 Tahun 2010 menekankan pentingnya asesmen terpadu untuk membedakan apakah tersangka merupakan penyalahguna, pecandu, korban penyalahgunaan, atau justru pengedar.

Baca Juga :  Ketum KAMMI: Sudahi Keributan, Fokus Kawal Kinerja KPK

Jika melihat fakta barang bukti, terdapat dua potensi delik:

Pasal 127 (penyalahguna untuk diri sendiri), yang membuka kemungkinan rehabilitasi.

Pasal 112 dan 114 (memiliki, menguasai, membeli atau mengedarkan narkotika), dengan ancaman minimal 4 tahun penjara dan maksimal seumur hidup. Pasal ini biasanya dikenakan jika jumlah barang bukti besar dan mengarah pada peredaran.

Dalam kasus ini, jika benar barang bukti mencapai 20 butir, maka konstruksi hukum mestinya tidak berhenti pada Pasal 127 saja. Jumlah tersebut secara proporsional lebih dari sekadar pemakaian pribadi dan berpotensi masuk ke ranah kepemilikan atau bahkan peredaran.

Penerapan rehabilitasi rawat jalan tentu sah secara hukum bila didasarkan pada asesmen terpadu yang obyektif. Namun, publik patut mengkritisi transparansi asesmen tersebut. Apakah benar tersangka hanya pengguna? Apakah barang bukti yang disebut 20 butir sudah diungkap secara utuh di dalam berkas perkara?

Kekhawatiran terbesar adalah adanya praktik diskriminasi hukum: masyarakat kecil dengan satu butir pil bisa dipenjara, sementara mereka yang memiliki status sosial atau ekonomi lebih tinggi justru “diselamatkan” melalui rehabilitasi rawat jalan. Hal ini menimbulkan kesan ketidakadilan dan merusak kepercayaan publik terhadap hukum.

Baca Juga :  Opini: Mendefinisikan Kembali “Politik Uang” Sebagai Gerbang Kehancuran Demokrasi

Sebagai akademisi hukum, saya berpandangan bahwa:

Ada delik hukum yang jelas (Pasal 127 minimal, Pasal 112/114 potensial).

Rehabilitasi bisa dibenarkan, tetapi harus disertai bukti asesmen terpadu yang transparan dan akuntabel.

Kasus ini mencerminkan problem klasik penegakan hukum narkotika: selective enforcement dan potensi ketidakadilan hukum.

Idealnya, kasus ini dibuka ke publik dengan transparansi hasil asesmen, sehingga dapat dipastikan apakah rehabilitasi sudah sesuai prosedur hukum atau justru penyimpangan.

Secara normatif, rehabilitasi memiliki dasar hukum yang kuat dalam UU Narkotika. Namun, jika barang bukti sebanyak 20 butir ekstasi hanya diproses sebagai pemakaian pribadi, maka terdapat inkonsistensi serius yang berpotensi mengaburkan batas antara “penyalahguna” dan “pengedar”. Dalam perspektif akademik, kasus ini seharusnya menjadi momentum untuk menegakkan hukum secara adil, konsisten, dan transparan, agar tidak menimbulkan preseden buruk bagi pemberantasan narkotika khususnya di provinsi Lampung dan secara umum di Indonesia.

Berita Terkait

Ketika Jabatan Tak Lagi Jadi Hadiah, Saatnya Kepala Daerah Bercermin
Masyarakat Adat Lampung dan Kemerdekaan RI ke 80 sebuah paradoks
Opini: Antara Qurban Hewan dan Qurban Perasaan
Gelombang Keseragaman Berita, Jurnalisme Digital di Persimpangan Jalan
Opini: Jaminan Keselamatan Dan Keamanan Adalah Hak Pengunjung Wisatawan
Opini: Mendefinisikan Kembali “Politik Uang” Sebagai Gerbang Kehancuran Demokrasi
Fiqh “Al-Manhiyyaat”: Hal-hal yang Dilarang
Blak Blakan soal Kerjasama Anggaran Publikasi Diskominfotik Pemprov Lampung
Berita ini 4 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 8 September 2025 - 13:41 WIB

Analisis Akademis atas Kasus HIPMI Lampung

Rabu, 27 Agustus 2025 - 17:58 WIB

Ketika Jabatan Tak Lagi Jadi Hadiah, Saatnya Kepala Daerah Bercermin

Minggu, 17 Agustus 2025 - 17:01 WIB

Masyarakat Adat Lampung dan Kemerdekaan RI ke 80 sebuah paradoks

Sabtu, 7 Juni 2025 - 06:39 WIB

Opini: Antara Qurban Hewan dan Qurban Perasaan

Kamis, 20 Maret 2025 - 04:03 WIB

Gelombang Keseragaman Berita, Jurnalisme Digital di Persimpangan Jalan

Berita Terbaru

Opini

Analisis Akademis atas Kasus HIPMI Lampung

Senin, 8 Sep 2025 - 13:41 WIB