Bandar Lampung – Penggerebekan pesta narkoba yang melibatkan lima pengurus Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Lampung di sebuah room karaoke Hotel Grand Mercure, Kamis (28/8/2025), masih meninggalkan tanda tanya besar. Dari 20 butir ekstasi yang dikabarkan dibeli, aparat hanya menemukan tujuh butir tersisa: empat berlogo transformers warna kuning biru dan tiga berlogo minion kuning. Publik pun bertanya: ke mana 13 butir ekstasi lainnya?
Kisah ini kian pelik ketika hukum seolah dipaksa tunduk pada angka. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2010 memberi tafsir administratif bahwa kepemilikan baru bisa dikenakan jika jumlah ekstasi minimal delapan butir. Akibatnya, tujuh butir yang ditemukan dalam kasus HIPMI Lampung lebih cenderung diarahkan pada penyalahgunaan untuk diri sendiri. Padahal, dalam hukum acara pidana, barang bukti ditambah hasil tes urine positif sejatinya sudah cukup sebagai bukti permulaan untuk menjerat pelaku.
Di sinilah publik mulai ragu: benarkah aturan dibuat untuk mencari keadilan, atau justru celah untuk mencari jalan keluar? Rakyat kecil yang kedapatan dengan barang bukti minim sering divonis berat, sementara kalangan berpengaruh lebih mudah diloloskan dengan dalih rehabilitasi.
Wacana rehabilitasi memang sah secara hukum. Peraturan bersama enam kementerian pada 2014 membuka ruang bagi pecandu atau korban penyalahgunaan untuk menjalani perawatan, dengan catatan harus melalui Tim Asesmen Terpadu (TAT) BNN. Tetapi mekanisme ini seharusnya transparan dan tercatat resmi, agar tidak dipersepsikan sebagai jalan pintas yang hanya bisa dinikmati mereka yang punya akses politik maupun ekonomi.
Rehabilitasi juga bukan berarti bebas perkara. Tersangka tetap harus melewati jalur hukum: penyidikan, penuntutan, hingga persidangan. Hanya saja pelaksanaan hukuman dapat digabung dengan program perawatan. Jika hal ini diabaikan, publik wajar menuding bahwa hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Kasus HIPMI Lampung kini menjelma simbol ketimpangan. Misteri hilangnya 13 butir ekstasi bukan sekadar soal barang bukti yang lenyap, melainkan cermin rapuhnya konsistensi hukum di negeri ini.
oleh